Selamat Datang Di Wahana Diskusi ini

Pengolahan citra untuk Evaluasi Perubahan Hutan

Perkembangan teknologi penginderaan jauh telah banyak menghasilkan citra dengan berbagai resolusi, baik resolusi spektral, resolusi temporal maupun resolusi spasialnya. Data perkembangan citra penginderaan jauh pada Table
Ketersediaan citra satelit dari berbagai resolusi memberi kemudahan pada user untuk melakukan pemetaan tematik dengan detail informasi skala nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Selain citra penginderaan jauh pada Table di atas, juga tersedia citra Alos dengan sensor AVNIR menghasilkan 4 band pada resolusi 10 meter, PRISM 1 band pada resolusi spasial 2,5 meter.
Kerjasama antara Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) earth observing system (EOS) dengan Badan Antariksa Jepang (JAXA) melalui Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri (METI) mengembangkan sistem sensor yang kemudian dipasang pada satelit multimisi Terra. Peluncuran satelit tersebut pada 18 Desember 1999, sedang pemanfaatan dan distribusi data untuk kepentingan publik dimulai pada tahun 2000. Proyek Aster bertujuan untuk melakukan observasi permukaan bumi dalam rangka pemantauan lingkungan hidup secara umum dan penginderaan sumber daya alam
Aster memiliki sensor: Visible and Near-Infrared Radiometer (VNIR), Short Wavelength Infrared Radiometer (SWIR), Thermal Infrared Radiometer (TIR), Intersected Signal Processing Unit dan Master Power Unit. Salah satu keunggulan Aster adalah  kemampuan menghasilkan citra tiga dimensi dan model elevasi digital (DEM) dengan menghubungkan citra saluran 3N (NVIR) yang merekan nadir dan 3B yang merekam miring arah kelakang dan dipandang mampu mengatasi permasalahan streoskopis melalui perekaman beda waktu.
Sensor Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) merupakan peningkatan dari sensor yang dipasang pada satelit generasi sebelumnya, JERS1. TERRA-Aster memiliki produk-produk citra standar dan produk semi standar. Produk standar antara lain terdiri dari citra: level koreksi 1A dan level koreksi 1B, sedangkan jenis Produk semi standar terdiri dari : Level 3A01, Level 4A01 (Digital Terrain Model/DTM).
Spesifikasi produk dan spektral Citra Aster yang dihasilkan oleh sensor pada wahana satelit Terra-Aster ditunjukan dalam Tabel berikut
VNIR merupakan high performance dan high resolution optical instrument yang digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan range dari level visible hingga infrared (520 - 860 µm) dengan 3 bands. Band nomor tiga dari VNIR ini merupakan nadir dan backward looking data, sehingga kombinasi data ini dapat digunakan untuk mendapatkan citra stereoscopic. Digital Elevation model (DEM) dapat diperoleh dengan mengaplikasikan data ini, sehingga data ini tidak hanya untuk peta topografik saja, tetapi bisa juga digunakan sebagai citra stereo.
SWIR merupakan high resolution optical instrument dengan 6 bands yang digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan short wavelength infrared range (1.6-2.43 µm). Penggunaan radiometer ini memungkinkan menerapkan ASTER untuk identifikasi jenis batu dan mineral, serta dapat dikaji dari berbagai pemerosesan untuk monitoring bencana alam seperti monitoring gunung berapi yang masih aktif.
TIR adalah high accuracy instrument untuk observasi thermal infrared radiation (800-1200 µm) dari permukaan bumi dengan menggunakan lima band. Band ini dapat digunakan untuk monitoring jenis tanah dan batuan di permukaan bumi. Multiband thermal infrared sensor dalam satelit ini adalah pertama kali di dunia. Ukuran citra adalah 60 km dengan ground resolution 90 m.
Citra Aster biasanya disalurkan dalam format HDF-EOS, umumnya ada beberapa jenis file yang tersedia seperti file dengan extension ".dat" berisi citra satelit Aster. Kemudian file dengan extension ".jpg" berisi citra browse dari tiap instrumen. Juga tersedia dalam bentuk full-mode (tiga-sensor). Kode "1" di nama file sebelum extension menunjukkan citra VNIR, lalu "2" adalah SWIR, dan "3" adalah TIR. File dengan extension "BRS" berisi metadata untuk produk L1A dalam format text.

Selain Aster, Pasca terjadinya kerusakan sensor pada Landsat 7 yang menyebabkan terjadinya nilai offset pada Citra Landsat ETM plus 7. Misi observasi Bumi antara lain dilanjutkan oleh Landsat 8 yang berhasil diluncurkan pada 11 Februari 2013. Wahana satelit ini memiliki dua sensor: Operational Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS)
Kedua sesnsor berfungsi merekam data permukaan bumi dengan karakteristik yang khas. Karakteristik hasil perekaman sensor Landsat 8:
Jika dikaitkan dengan karakteristik spektral air, vegetasi dan tanah, maka citra Landsat 8 ini sangat cocok digunakan sebagai data berbagai peta tematik skala menengah. OLI multispektral band cukup mendukung pemetaan penutup lahan, selanjutnya dikembangkan menjadi berbagai penggunaan lahan sesuai peruntukan interpreter. Lilisand dan Kiefer, 2008 telah menyajikan grafik,
melalui grafik spektral air, vegetasi dan tanah menjelaskan bahwa spektral maksimum untuk air berada pada panjang gelombang 0,6 µm, Vegetasi sekitar 0,8 µm sedangkan untuk tanah terbuka, struktur batuan dan mineral sekitar >1,5 µm.
Secara grafik pada panjang gelombang 0,6-0,68 µm objek air hampir tidak dapat dibedakan dengan vegetasi, yang nampak lebih cerah adalah objek tanah terbuka. Berbeda dengan panjang gelombang (0,78-1,1) µm, tubuh air menyerap sejumlah energi pada panjag gelombang tersebut, vegetasi memiliki spektral yang sangat tinggi dibanding dengan air dan tanah terbuka, sehinga pada kondisi ini vegetasi lebih dapat teramati melalui citra satelit pada band sekitar 0,8 µm dibanding dengan air dan tanah terbuka. Dasar grafik Lilisand dan Kiefer inilah yang mendasari bagaimana menusun citra komposit untuk mengamati objek di permukaan bumi. Selanjutnya sebagai data untuk berbagai peta tematik skala menengah untuk citra ASTER dan Landsat.

Kemampuan  citra Aster dan Lansat b yang tergambar dari spesifikasi band, resolusi spasialnya cenderung lebih cocok digunakan  untuk  ekstraksi data permukaan bumi dengan out-put data yang mempunyai skala kategori menengah. Terkait dengan penelitian ini  citra Aster  memungkinkan untuk digunakan sebagai  data masukan dalam evaluasi perubahan hutan dengan kerincian informasi skala kabupaten yakni skala peta 1:100.000

Kali ini fokus pada citra ASTER VNIR
Tahapan Pengolahan Citra Digital
Tahapan pengolahan citra meliputi pra-pengolahan citra, pengolahan citra dan re-interpretasi (interpretasi ulang).
1. Pra-pengolahan citra
Restorasi citra meliputi koreksi geometrik, kalibrasi radiometrik dan koreksi atmosferik.
a. Koreksi Geometrik
Pada dasarnya koreksi geometri dilakukan untuk menghilangkan kesalahan geometri baik yang bersifat sistematis maupun yang tidak sistematis. Kesalahan sistematis adalah kesalahan yang telah diperhitungkan sebelumnya, seperti kesalahan yang disebabkan oleh sudut pandang sensor, kecepatan wahana, rotasi bumi, distorsi penyiam, variasi kecepatan cermin, dan kemiringan garis penyiam. Dilain pihak kesalahan non-sistematis merupakan kesalahan yang tidak diperhitungkan sebelumnya, misalnya kedudukan, kecepatan dan ketinggian wahana (Jensen,2002, 2008).
Kesalahan sistematis dapat diketahui dengan baik dan mudah diperbaiki melalui penerapan formula yang diturunkan dari pemodelan matematis pada sumber kesalahan, sedangkan kesalahan non-sistematis dikoreksi dengan analisis titik control medan (ground control point), yaitu dengan membentuk fungsi transformasi yang menyatakan hubungan matematis antara titik-titik pada citra dengan titik yang sama di lapangan atau peta dengan menggunakan sistem koordinat tertentu.
Anonimus (1993) secara umum ada 3 macam fungsi polinomial untuk transformasi, yaitu polinomial ordo satu, ordo dua dan ordo tiga. Fungsi polinomial ordo satu memerlukan 3 minimum titik control, ordo dua minimum 6 titik control, dan ordo tiga minimum 10 titik control. Perubahan posisi piksel yang terjadi akibat proses transformasi, harus diikuti dengan penempatan kembali nilai piksel tersebut melalui interpolasi nilai spektral. Proses ini disebut resampling.
Lillesand dan Keifer (2008) mengemukakan ada tiga macam algoritma pada proses resampling, yaitu nearest neighbour, bilinear, dan cubic convolution. Algoritma nearest neigbour  diterapkan dengan mengambil kembali nilai piksel yang tedekat yang telah bergeser ke posisi baru, sedangkan bi-liner dan cubic convolution memperthitungkan beberapa piksel yang berdekatan dalam proses interpolasi. Algoritma bi-linier dan cubic convolution tidak tepat diterapkan pada citra asli yang akan digunakan sebagai masukan dalam klasifikasi otomatis, karena nilai piksel tidak lagi mencerminkan pantulan obyek yang sebenarnya. Citra yang dihasilkan mempunyai kenampakan diperhalus. Kedua kenampakan tersebut lebih sesuai untuk resampling nilai pada citra model digital. Algoritma nearest neoghbour sesuai diterapkan pada citra saluran asli namun dengan konsekuensi kenampakan linier yang terpatah-patah
.
b. Kalibrasi Radiometrik
Citra Aster pada level-1A masih berdasarkan nilai digital (DN) dan belum dilakukan koreksi geometrik dan radiometrik, berbeda dengan data citra Aster level-1B yang telah terkoreksi geometrik maupun radiometrik (aster-indonesia.com). Suharyadi (2009) bahwa untuk mengoptimalkan penerapan citra satelit, termasuk citra Aster dalam berbagai kajian, nilai satuan yang paling baik digunakan adalah nilai reflectance, karena nilai reflektance sudah memperhatikan sifat fisik objek di permukaan bumi.
Penggunaan citra satelit multi-temporal maupun multi-sensor perlu mempertimbangkan sudut penyinaran matahari saat perekaman citra oleh sensor, sehingga harus dilakukan kalibrasi radiometrik. Fungsi kalibrasi radiometrik adalah untuk mengurangi gangguan atmosfer pada citra termasuk kesalahan yang disebabkan oleh perbedaan sudut penyinaran matahari saat perekaman citra oleh sensor. Kalibrasi radiometrik citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan berbagai cara yakni (1). mencari korelasi beberapa nilai piksel objek yang dianggap tetap pada dua waktu perekaman yang berbeda. (2). membandingkan  beberapa objek yang ada pada citra dengan data lapangan atau foto key, (3). mengembalikan nilai piksel objek yang berupa Digital Number (DN) ke nilai radian, atau ke nilai pantulan objek pada sensor (reflectan at sensor) (Suharyadi ,2009).

Tahapan kalibrasi radiometrik pada citra Aster VNIR:
1. Konversi nilai Digital Number ke nilai radiance
Konversi nilai spektral objek pada citra Aster VNIR dalam digital number  (DN) ke nilai radians (Lrad) dilakuakn pada tiap-tiap band dengan menggunakan formula yang dikutip dalam Aster user handbook:
Lrad = (DN - 1)*c
Lrad = nilai radians
DN = nilai digital (digital number)
c = nilai koefisien konversi citra Aster
Penggunaan nilai koefisien konversi (c) untuk konversi nilai digital number ke nilai radiannce disesuaikan antara nilai pada koefisien konversi tabel dengan karakteristik masing-masing band pada header citra Aster yang digunakan. Nilai tersebut ditunjukkan pada

2. Konversi nilai radiance menjadi TOA (Top Of Atmosphere)
Perbedaan waktu perekaman citra dapat menyebabkan perbedaan spektral yang direfleksikan oleh objek di permukaan bumi ke sensor pada wahana satelit sebagai akibat perbedaan kemiringan penyinaran matahari. Konversi nilai radians ke nilai reflektan (reflektance at-sensor) bertujuan untuk mengurangi efek temporal (efek perbedaan kemiringan matahari) pada dua citra yang  direkam dalam waktu yang berbeda. Konversi nilai radians ke nilai reflektan-at sensor menggunakan formula yang dikutip dalam Aster User Handbook:
dimana :
ρp = Nilai pantulan objek pada sensor (reflectance at-sensor)
Lλ  = Nilai radiansi (Wm-2sr-1µm-1)
ESUNλ  = Nilai spektral iradiansi matahari (Wm-2 µm-1)
θS  = Sudut puncak matahari (900– Sun Elevation)
= Jarak bumi – matahari (unit astronomi)
Jarak bumi-matahari dapat dihitung dengan menggunakan Software MicrosoftExel melalui persamaan:
d= (1-0.01672*COS(RADIANS(0.9856*(Julian Day-4))))
Salah satu parameter yang diputuhkan dalam persamaan ini adalah nilai ESUNi. Penggunaan nilai tersebut disesuaikan antara jenis band  dengan nilai ESUNi yang ditunjukkan pada berikut:
c. Koreksi Atmosferik
Koreksi radiometrik diperlukan untuk meningkatkan kualitas visual citra dan memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan sebenarnya akibat absorbsi energi gelombang elektromagnetik oleh partikel atmosfir. Peningkatan kualitas visual citra dilakukan dengan pengisian kembali baris yang kosong karena drop-out atau karena kesalahan awal pelarikan (scanning start). Koreksi radiometri dimaksudkan untuk memperbaiki nilai setiap piksel agar sesuai dengan nilai pantulan obyek yang sebenarnya dengan mempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Pemanfaatan citra satelit termasuk citra Aster, khususnya pada band 1, band 2 dan band 3 yang sangat sensitif terhadap kondisi atmosfer. Partikel atmosfir seperti kandungan air dan aerosol dapat mengakibatkan kesalahan interpretasi, sehingga perlu dilakukan atmospheric correction untuk mereduksi efek atmosfer pada citra satelit.
Koreksi Atmosferik menggunakan diasumsikan bahwa nilai piksel terendah pada suatu kerangka liputan (scene) adalah nol, sesuai dengan bit-coding sensor. Apabila nilai piksel terendah pada kerangka liputan tersebut bukan nol, maka nilai penambah (offset) tersebut diasumsikan berasal dari hamburan atmosfer. Metode yang dapat digunakan untuk koreksi radiometrik diantaranya: penyesuaian histogram, penyesuaian regresi, dan metode kalibrasi bayangan (Danoedoro, 2002; Purwadi, 2008).
Kamal (2010) sampel objek dalam koreksi atmosferik diambil piksel murni (Pixel Purity Index) yakni objek air yang belum tercemar dengan asumsi bahwa air memiliki serapan maksimal dalam keadaan normal/ideal, jika objek air dalam keadaan normal memiliki pantulan spektral yang cukup tinggi, maka nilai tersebut dianggap sebagai nilai offset. Koreksi atmosferik menggunakan persamaan BVterkoreksi = BVasli – bias
sedangkan nilai offset ditentukan dengan persamaan Nilai offset = (mean-2*STADV)
Pelolahan citra digital meliputi penyusunan citra komposit, Interpretasi citra digital dan transformasi NDVI.

2. Pengolahan Citra
a. Penyusunan Citra Komposit 
Citra komposit merupakan paduan dari beberapa saluran. Setiap saluran dalam citra satelit memiliki kelebihan tertentu dalam menampilkan obyek yang ada dipermukaan bumi. Penyusunan citra komposit pada RGB dimaksudkan untuk memperoleh gambaran visual yang lebih baik, sehingga pengamatan objek, pemilihan sampel dan aspek estetika citra dapat diperbaiki (Danoedoro, 1996). Chavez (1984 dalam Jensen, 1996), mengemukakan bahwa untuk menentukan kombinasi saluran terbaik, saluran yang dikombinasikan harus memiliki korelasi (antar satuan) yang rendah dan dengan variasi (antar obyek dalam masing-masing saluran) yang tinggi, korelasi dan variasi tersebut ditentukan oleh nilai OIF (Optimum Indeks Factor).
Panji (2009) perhitungan nilai OIF dalam kombinasi antar saluran digunakan untuk penggunaan citra yang memiliki lebih dari 3 (tiga) saluran, sehingga nilai OIF tidak dapat diterapkan pada citra Aster VNIR karena hanya memiliki 3 (tiga) saluran. Penyusunan citra komposit pada citra Aster didasari oleh karakteristik band hijau, band merah dan inframerah terhadap objek di permukaan bumi.  Karakteristik masing-masing band citra Aster VNIR tersebut:
1) Band hijau (0,520 – 0,600) µm merupakan puncak reflektansi  vegetasi, sehingga saluran ini memberi informasi vegetasi yang baik, bila saluran ini diberi warna biru, maka kenampakan hijau kebiruan merupakan obyek vegetasi.
2) Band merah (0,630 – 0,690) µm mempunyai sifat  pemberi informasi yang baik untuk vegetasi, jika band ini diberi warna hijau akan memberi kenampakan hijau dominan pada obyek vegetasi. Namun tidak untuk kenampakan non vegetasi, sehingga pada saluran ini warna hijau akan memberi informasi vegetasi bukan non vegetasi.
3) Band inframerah (0,769 – 0,860) µm mempunyai sifat sangat kontras antara obyek vegetasi dan  tanah, dimana energi gelombang  inframerah akan lebih banyak terpantul dibanding terserap bila mengenai obyek tanah dan bangunan, sehingga untuk mengenali obyek lahan terbangun  dan vegetasi saluran ini diberi warna merah pada RGB.

b.Interpretasi Citra
Interpretasi citra adalah  suatu proses mengolah data/citra satelit atau foto udara untuk mendapatkan informasi tentang karakteristik objek yang dikaji di permukaan bumi atau dekat permukaan bumi. Proses interpretasi citra satelit untuk mengekstrak informasi spasial dapat dilakukan secara visual (on scree digitized) dan digital serta gabungan antara interpretasi visual dengan interpretasi digital.
Sutanto (1999) menyatakan Interpretasi merupakan upaya penafsirkan citra penginderaan jauh berupa pengenalan objek dan elemen yang tergambar pada citra penginderaan jauh serta penyajiannya ke dalam bentuk peta tematik. Pengenalan objek yang tergambar pada citra, ada tiga rangkaian kegiatan yang diperlukan, yaitu deteksi, identifikasi, dan analisis.
Deteksi merupakan pengamatan atas adanya objek,  dapat berupa tubuh air, vegetasi dan  lahan terbangun. Identifikasi ialah upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup, tentunya setiap objek mempunyai ciri khas tersendiri dalam kenampakan di citra. Kegiatan selanjutnya adalah analisis atau tahap mengolah data yang telah terdeteksi dan teridentifikasi menjadi data selanjutnya, seperti data penutup lahan dapat diturunkan menjadi data penggunaan lahan  berdasarkan bentuk lahannya.
Teknik penafsiran citra penginderaan jauh diciptakan agar penafsir dapat melakukan pekerjaan penafsiran citra secara mudah dengan mendapatkan hasil penafsiran pada tingkat keakuratan dan kelengkapan informasi.
Sutanto (1999), teknik penafsiran citra penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan komponen penafsiran berupa data acuan untuk meningkatkan pemahaman tentang lokasi penelitian (local knowledge) dan menggunakan kunci interpretasi citra atau unsur diagnostik citra untuk memudahkan pengenalan identitas dan jenis objek pada citra. Kunci interpretasi citra penginderaan jauh yang digunakan untuk membantu interpreter dalam memilih sampel berdasarkan kunci interpretasi citra:
Rona dan warna
Rona/warna adalah tingkat kegelapan/kecerahan objek pada citra, penafsiran citra secara visual menuntut tingkatan rona bagian tepi yang jelas, hal ini dapat dibantu dengan teknik penajaman citra (enhancement), sedangkan warna  merupakan wujud  yang nampak pada mata. Warna merupakan wujud yang tampak mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum elektromagnetik tampak (Sutanto, 1999). Pada spektrum tampak,  secara garis besarnya terdiri dari cahaya merah, hijau dan Biru. Interaksi antara satu warna dengan warna yang lainnya menghasilkan warna baru yang disebut warna sekunder, misalkan cahaya warna merah (M) yang berinteraksi dengan cahaya warna biru (B) menghasilkan cahaya warna magenta (M), cahaya merah berinteraksi dengan cahaya hijau (G) menghasilkan cahaya kuning (Y), sedangkan perpaduan antara warna merah (R), hijau (G) dan warna Biru (B) menghasilkan warna putih. secara umum diillustrasikan pada gambar:

Gambar warna aditif menunjukkan interaksi antara warna sekunder dengan warna sekunder lainnya. Warna sekunder kuning (Y) jika berinteraksi dengan warna sekunder magenta (M) menghasilkan warna merah (M). Suatu objek misalnya daun tumbuhan tampak berwarna hijau karena objek tersebut memantulkan cahaya hijau ke mata, sedang warna lainnya diserap. Jika objek yang menyerap sinar biru dan memantulkan sinar hijau dan merah ke mata, maka objek tersebut akan tampak berwarna kuning. Dibandingkan dengan rona, perbedaaan warna lebih mudah dikenali oleh penafsir dalam mengenali objek secara visual. Hal inilah yang dijadikan dasar untuk menciptakan citra multispektral.
Ukuran
Ukuran merupakan atribut objek yang berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume (Sutanto, 1999). Ukuran merupakan cerminan penyajian penyajian luas daerah yang ditempati oleh kelompok individu. Dapat dicontohkan  bahwa sawah memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan lapangan sepak bola, dan vegetasi yang berada pada penggunaan lahan kebun lebih luas dari pada hutan.
Bentuk
Bentuk merupakan asosiasi sangat erat dan juga variatif kualitatif yang memberikan kerangka suatu objek. Bentuk menunjukkan konfigurasi umum suatu objek sebagaimana terekam pada citra penginderaan jauh. Bentuk dapat dicontohkan antara sungai dengan jalan yang pada citra mempunyai kemiripan. Dilihat dari bentuknya, jalan biasanya lebih lurus dibanding dengan sungai.
Tekstur
Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra (Kiefer, 2002). Tekstur dihasilkan oleh kelompok unit kenampakan yang kecil, tekstur sering dinyatakan kasar, halus, ataupun belang-belang (Sutanto, 1999). Contoh hutan primer bertekstur kasar, hutan tanaman bertekstur sedang, tanaman padi bertekstur halus.
Pola
Pola merupakan ciri yang menandai suatu objek yang dibuat oleh manusia dan beberapa objek alamiah  yang membentuk susunan keruangan serta beberapa karakteristik makro yang digunakan untuk mendiskripsikan tata ruang pada kenampakan di citra. Hal ini membuat pola unsur penting untuk membedakan pola alami dan hasil budidaya manusia. Sebagai contoh perkebunan karet, kelapa sawit sangat mudah dibedakan dari hutan dengan polanya dan jarak tanam yang seragam.
Situs
Situs merupakan konotasi suatu objek terhadap faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan atau keberadaan suatu objek, bukan merupakan ciri objek secara langsung. Situs dapat dicontohkan pada sawah dengan tambak yang memiliki bentuk sama, tetapi keberadaan tambak berasosiasi dengan daerah pesisir, sedangkan sawah biasanya terdapat pada dataran aluvial yang agak jauh dari laut ketimbang keberadaan tambak.
Asosiasi
Asosiasi menunjukkan komposisi sifat fisiognomi seragam dan tumbuh pada kondisi habitat yang sama. Asosiasi juga berarti kedekatan erat suatu objek dengan objek lainnya. Contoh jaringan irigasi biasanya memiliki kemiripan dengan jaringan jalan, tetapi jaringan irigasi berasosiasi dengan areal persawahan sedang jaringan jalan berasosiasi dengan permukiman.

c. Interpretasi Citra Secara Visual
Purwadhi (2001) menyatakan bahwa interpretasi citra secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri (karakteristik) obyek secara keruangan. Karakteristik obyek yang tergambar pada citra dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti rona atau warna, bentuk, pola, ukuran, bayangan, letak dan asosiasi kenampakan obyek.
Interpretasi citra secara visual dapat dilakukan secara manual dan secara on-sreen digitation. Pada umumnya interpretasi citra secara manual dilakukan dalam interpretasi foto udara dalam bentuk hard copy, sedangkan interpretasi citra secara on-sreen digitation dilakukan pada citra foto udara atau citra satelit dalam bentuk soft copy. Kunci interpretasi yang digunakan dalam interpretasi visual adalah rona, ukuran, tekstur, bentuk, assosiasi, pola, situs dan pengetahuan lapang.
Interpretasi citra secara visual membutuhkan ketelitian, keterampilan interpreter dalam mendeteksi, mengindentifikasi dan menganalisis objek  pada citra sesuai kenampakan secara visual berdasarkan kunci interpretasi citra, selain itu interpretasi visual memiliki kesamaan dengan interpretasi digital yakni keduanya membutuhkan cek lapang untuk mengecek hasil interpretasi yang masih diragukan kebenarannya.

d.Interpretasi Citra Secara Digital
Kegiatan interpretasi citra adalah perbuatan mengkaji citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek yang tergambar pada citra, dan menilai arti penting objek tersebut (Jansen, 2000; Purwadhi, 2001; Danoedoro,2002; Lillisand Kiefer dan Chipman, 2008). Lo (1976) menyatakan bahwa, pada dasarnya kegiatan interpretasi citra terdiri dari dua tingkat, yaitu tingkat pertama berupa pengenalan obyek melalui proses deteksi dan identifikasi, dan tingkat kedua berupa penilaian atas pentingnya obyek yang telah dikenali tersebut, yaitu arti pentingnya tiap obyek dan kaitan antar obyek tersebut. Tingkat pertama berarti perolehan data sedangkan tingkat kedua berupa interpretasi atau analisis data.
Proses interpretasi dapat berhasil dengan baik apabila penafsir memilki pengerahuan yang cukup terhadap sifat-sifat fisik obyek dan panjang gelombang elektromegnetik yang digunakan. Interaksi antara kedua hal tersebut pada umumnya menghasilkan 5 (lima) macam interaksi yaitu : (1) ditransmisikan, (2) diserap, (3) diemisikan, (4) dihamburkan, dan (5) dipantulkan (Sabins, 1978). Interaksi ini secara skematis dilukiskan dalam Gambar :

Perkembangan pengolahan citra penginderaan jauh saat ini telah mengalami kemajuan yang sangat pesat ditandai dengan semakin banyaknya paket perangkat lunak pengolah citra digital yang dioperasikan dengan komputer. Danoedoro (1996) pengolahan citra digital pada umumnya lebih dititikberatkan pada penurunan citra baru yang lebih mudah dinterpretasi. fenomena yang tergambar pada cirta adalah land cover, sehingga untuk interpretasi dengan tujuan tertentu seperti interpretasi citra untuk kajian sumberdaya hutan, penggunaan lahan, geologi, geomorfologi, dibutuhkan data pendukung atau disebut data sekunder.

e.Kalsifikasi Multispektral
Klasifikasi citra digital dapat dilakukan melalui pengenalan pola spektral, pengenalan pola spasial dan pengenalan pola temporal. Pengenalan pola spektral menggunakan dasar pola tangkapan spektral  setiap objek di permukaan bumi, yakni membedakan objek dari nilai spektral pantulan dan pancaran yang dimilikinya sesuai jenis saluran yang digunakan. Pengenalan pola spasial meliputi kategorisasi secara otomatik piksel-piksel pada citra berdasarkan rona, bentuk, ukuran obyek, hubungan, arah serta posisi piksel berdekatan. Pengenalan pola temporal merupakan identifikasi kenampakan penutup lahan berdasarkan nilai spektral dengan menggunakan variasi spektral multi temporal (Purwadhi, 2008).
Danoedoro (2002, 2012), klasifikasi citra digital merupakan suatu algoritma yang dirancang untuk menurunkan informasi tematik yang lebih rinci dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan criteria tertentu. Pengelompokan fenomena pada citra dilakukan secara otomatik dengan bantuan komputer untuk mengidentifikasi informasi statistik atas dasar nilai spektral pada citra, susunan keruangan dan ciri atau karakteristik yang menandai berbagai obyek sebagai bentukan manusia (artifisial) atau bentukan alamiah. 
Cara kerja algoritma klasifikasi digital adalah menerjemahkan kenampakan visual menjadi parameter-parameter statistik yang dimengerti oleh komputer untuk dilakukan eksekusi. Langkah-langkah penerapan algoritma klasifikasi:
  1. menentukan nilai spektral representatif tiap objek dengan cara sampling sebagai acuan untuk pengenalan objek pada citra,
  2. menempatkan nilai representatif tiap objek (sampel) pada diagram multidimensional,
  3. menentukan batas toleransi berupa jarak spektral dari nilai representatif,
  4. pengambilan keputusan berupa perhitungan seluruh nilai piksel dan memasukkan ke klas tersedia. Nilai piksel yang tak terklaskan, diklaskan berdasarkan nilai piksel terdekat.
Klasifikasi multispektral  terdiri atas klasifikasi tak terselia (unsupervised classifikation) dan klasifikasi terselia (supervised classifikation). Klasifikasi tak terselia merupakan sistem pengklasifikasian penutup lahan yang dikontrol sepenuhnya oleh komputer dan sedikit campur tangan operator, sehingga klasifikasi ini lebih cocok digunakan pada daerah kajian yang memiliki penutup lahan homogen. Klasifikasi terselia jumlah klas penutup lahan  dikendalikan oleh operator sesuai kebutuhan penelitian, sehingga klasifikasi terselia lebih baik digunakan pada daerah kajian yang memiliki penutup lahan heterogen (Jensen, 2000; Lillesand Kieffer dan Chipman, 2008).
Salah satu strategi klasifikasi citra secara klasifikasi terselia adalah algoritma kemiripan maksimum. Algoritma ini berasumsi bahwa objek homogen selalu menampilkan histogram yang terdistribusi normal (bayesian). Pada algoritma ini piksel diklaskan berdasarkan bentuk, ukuran dan orientasi sampel pada feature space (yang berupa elipsoida), sedangkan pengambilan keputusan dalam klasifikasi didasarkan pada informasi statistik berupa rerata dan simpangan baku tiap sampel serta variansi dan kovariansi. Rerata dan simpangan baku tiap sampel secara otomatis tersimpan pada saat melakukan pengambilan sampel. Nilai vektor rerata menentukan posisi elipsoida sampel pada feature space, ukuran elipsoida ditentukan oleh nilai variasi tiap saluran, bentuk   dan orientasi elipsoida ditentukan oleh kovariansinya (Shrestha,1991 dalam Danoedoro, 2002, 2012).

f.Transformasi Indeks Vegetasi
Indeks vegetasi merupakan suatu bentuk transformasi spektral yang diterapkan terhadap citra multisaluran untuk menunjolkan aspek kerapatan vegetasi atau aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan vegetasi seperti biomassa dan konsentrasi klorofil. Salah satu bentuk transformasi indeks vegetasi yang melibatkan multisaluran adalah NDVI (Normalized Difference Vegetation Index). Transformasi NDVI merupakan kombinasi teknik penisbahan saluran dengan teknik pengurangan citra. Transformasi indeks vegetasi tersebut adalah salah satu produk standar NOAA (National Oceanic Atmospheric Administrations), satelit cuaca yang berorbit polar dan memberikan perhatian khusus pada fenomena global tentang vegetasi dan cuaca (Tucker, 1986 dalam Danoedoro, P., 2012).
Frantzova at al.(2010), NDVI menyediakan informasi mengenai kondisi vegetasi atau perubahan vegetasi dari waktu ke waktu. Vegetasi yang sehat menyerap lebih banyak energi spektrum tampak dan memiliki pantulan yang besar dalam wilayah spektrum inframerah dekat, sedangkan vegetasi yang tidak sehat atau kerapatan jarang menunjukkan pantulan yang semakin naik dalam spektrum tampak tetapi berkurang pada wilayah spektrum inframerah dekat. Jensen 2000, Respon spektral berbagai kondisi vegetasi memperlihatkan perbedaan dalam julat spektrum tampak dan inframerah dekat seperti tampak dalam Gambar 

Menurut (Rouse at al., 1974; Deering, 1978 dalam Jackson and Huete,1991; Liang, 2004), bahwa formula NDVI melibatkan nilai reflektans saluran inframerah dekat (n) dan nilai reflektansi spektral saluran merah (r), formula tersebut:
Beberapa penelitian terdahulu mengemukakan, bahwa nilai NDVI terletak antara julat -1 sampai dengan +1, nilai kurang dari nol (<0) menujukkan tubuh air dan tutupan awan, sedangkan nilai NDVI lebih besar dari nol (>0), menunjukkan tanah terbuka sampai vegetasi hijau. 
 . . . .

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to " Pengolahan citra untuk Evaluasi Perubahan Hutan "

Posting Komentar

Terima kasih memberi saran untuk perbaikan selanjutnya